Daftar Blog Saya

Rabu, 09 Mei 2012

Landasan Ekonomis Pendidikan



a.      
Konsep Dasar
Dalam pendidikan, faktor ekonomi bukanlah penentu utama dalam pencapaian tujuan pendidikan, akan tetapi factor ekonomi juga memegang peranan yang cukup signifikan dalam menetukan keberhasilan pendidikan.
      Ekonomi sebagai landasan dalam pendidikan adalah bahwa dalam prosesnya, pendidikan menerapkan prinsip-prinsip ekonomi untuk mencapai tujuan dari pendidikan tersebut. Dan salah satu isi dalam penggunaan ekonomi sebagai landasan pendidikan terkait dengan konsep pembiayaan pendidikan. Akar dari persoalan diatas adalah masalah pembiayaan pendidikan. Menurut Nanang Fattah (dalam Mulyono, 2010) pembiayaan pendidikan merupakan jumlah uang yang dihasilkan untuk berbagai keperluan penyelenggaraan pendidikan yang mencakup gaji guru, peningkatan professional guru, pengadaan sarana ruang belajar, perbaikan ruang, pengadaan peralatan/ mobil, pengadaan alat-alat dan buku pelajaran, alat tulis kantor, kegiatan ekstrakurikuler, kegiatan pengelolaan pendidikan dan supervisi pendidikan.


b.      Isu Implementasi
Salah satu konsep pembiayaan pendidikan yang diterapkan di Indonesia adalah melalui Dana Bantuan Operasional Siswa atau lebih dikenal dengan nama Dana Program BOS. Dana Program BOS adalah program pemerintah untuk penyediaan pendanaan biaya nonpersonalia bagi satuan pendidikan dasar sebagai pelaksana program wajib belajar (Buku Panduan BOS).
      Program BOS bertujuan untuk membebaskan biaya pendidikan bagi siswa yang tidak mampu dan meringankan bagi siswa lain, sehingga dengan adanya program BOS diharapkan siswa dapat memperoleh layanan pendidikan dasar yang lebih bermutu sampai tamat dalam usaha penuntasan wajib belajar sembilan tahun, jadi sasaran program BOS adalah semua sekolah baik negeri maupun swasta diseluruh provinsi di Indonesia
c.       Analisis Solusi
Penerapan program BOS oleh pemerintah sebagai bantuan dalam penyelenggaraan pendidikan adalah langkah yang tepat sebagai salah satu bentuk pembiayaan Negara terhadap pendidikan.
       Salah satu resiko dari pengadaan program BOS adalah kemungkinan peyelewengan dana tersebut oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Pemerintah daerah dan masyarakat harus secara proaktif dalam mengawal pelaksanaannya program BOS sehingga bisa sampai kepada siswa sebagai tujuan penyelenggaraan program dana Program BOS.
      Pemerintah daerah bersama otoritas yang ada padanya dapat menyusun peraturan daerah mengenai program BOS mengenai detail penyaluran dana Program BOS tersebut sehingga sekolah bisa tahu dengan pasti mana saja keperluan yang boleh dibiayai dengan menggunakan dana Program BOS dan mana keperluan yang tidak boleh.
      Memang sudah ada petunjuk teknis dan petunjuk pelaksanaan (JUKLAK dan JUKNIS) yang dibuat oleh pemerintah pusat akan tetapi petunjuk tersebut masihlah bersifat umum. Olehnya itu ada baiknya memang ada sebuah regulasi yang dibuat oleh daerah dalam mengatur penggunaan dana Program BOS secara lebih rinci termasuk yang mengatur sanksi terhadap pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan yang dilakukan pihak sekolah, baik itu berupa sanksi administrative, pemberhentian penyaluran atau bahkaan jika pelanggaran sudah masuk ke wilayah hukum harus ditangani secara hukum pula.
      Mulyono (2010;220) menjelaskan ada 3 jenis sanksi yang bisa diberikan kepada pihak-pihak yang melakukan penyelewengan terhadap penggunaan dana Program Bantuan Operasional Sekolah, yakni:
1)      Penerapan sanksi kepegawaian sesuai dengan peraturan dan undang-undang yang berlaku (pemberhentian, penurunan pangkat dan mutasi kerja)
2)      Penerapan tuntutan kebendaharaan dang anti rugi, yaitu pengembalian dana Program BOS yag terbukti disalahgunakan kepada satuan pendidikan atau ke kas Negara
3)      Penerapan proses hukum, yaitu mulai proses penyelididikan, penyidikan, dan proses peradilan bagi pihak yang diduga atau terbukti melakukan penyimpangan dana Program BOS
      Sedangkan upaya aktif yang dapat dilakukan masyarakat adaalah dengan turut serta dalam pengawasan penggunaan dana Program BOS bagi secara individual maupun dalam bentuk lembaga swadaya masyarakat (LSM).

Landasan Sosiologis Pendidikan



a.      
Konsep Dasar
Yang menjadi dasar dari ilmu sosiologis adalah bahwa manusia selalu hidup dalam kelompok. sosiologi adalah ilmu yang mempelajari bagaimana manusia itu berhubungan satu dengan yang lain dalam kelompoknya dan bagaimna susunan unit-unit masyarakat atau sosial di suatu wilayah serta kaitannya satu dengan yang lain (Made Pidarta, 2009).
      Demikian juga dalam pendidikan, selalu melibatkan manusia dalam hubungan kelompok. Hal ini sejalan dengan pendapat Umar Tirtarahardja dan La Sulo (2005;95) bahwa kegiatan pendidikan merupakan suatu proses interaksi antara dua individu, bahkan dua generasi yang memungkinkan generasi muda dapat mengembangkan diri. Adapun bentuk-bentuk hubungan sosial dalam pendidikan meliputi : (1). interaksi guru-siswa; (2). dinamika kelompok di kelas dan di organisasi intra sekolah; (3). struktur dan fungsi sistem pendidikan dan (4). sistem masyarakat dan pengaruhnya terhadap pendidikan. (Wuradji dalam Made Pidarta, 2009)
      Olehnya itu penyelenggaraan pendidikan haruslah memasukkan unsur-unsur hubungan sosial manusia sehingga baik dalam proses maupun hasilnya, pendidikan dapat mempertahankan dan meningkatkan keselarasan hidup dan pergaulan peserta didik sebagai objek dari pendidikan.
b.      Isu Implementasi
Seperti yang telah disinggung didalam konsep dasarnya, bahwa penggunaan sosiologis sebagai landasan pendidikan adalah untuk menerapkan prinsip-prinsip hubungan sosial didalam penyelanggaraan pendidikan. Hal ini sangatlah penting karena kesosialan merupakan salah satu dimensi kemanusiaan yang dimiliki semua orang.
      Kata kunci dalam dimensi kesosialan manusia adalah komunikasi dan kebersamaan (Prayitno;2009), namun dalam kenyataannya, model pembelajaran yang diterapkan belumlah mengakomodir komunikasi dan kebersamaan secara optimal. model-model pembelajaran yang banyak digunakan dalam pendidikan saat ini hanyalah model pembelajaran didalam ruangan saja (kelas, laboratorium IPA laboratorium komputer, perpustakaan dan sebagainya) tidak lebih dari itu. Sehingga kemudian komunikasi dan kebersamaan yang terjadi hanyalah antara guru dengan murid dan dengan sesama murid. Sedangkan masyarakat sebagai bagian inti dari dimensi kesosialan seseorang belum mendapat porsi yang lebih untuk dajadikan objek dan partner dalam pendidikan.
c.       Analisis Solusi
Memasukkan nilai-nilai sosial dalam penyelenggaraan pendidikan adalah suatu keharusan, karena dimensi kesosialan adalah salah satu dimensi yang dimiliki manusia. Dalam pembelajaran dengan model konvensional selama ini memang sudah terdapat nilai-nilai sosial, hanya belumlah optimal karena masyarakat belumlah atau masih sangat jarang dilibatkan dalam model pembelajaran.
      Untuk mentaktisi hal tersebut, pembelajaran dapat menggunakan model experience learning yakni model pembelajaran yang menekankan prinsip pengalaman  dalam proses belajar. Metode seperti ini dapat dilaksanakan dengan cara melibatkan peserta didik perlu dalam kegiataan-kegiatan kemasyarakatan yang terkait dengan materi yang mereka telah dipelajari disekolah, misalnya untuk materi Musyawarah untuk Mufakat dan Gotong Royong dalam mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, peserta didik perlu dilibatkan dalam kegiatan musyawarah dan kegiatan kerja bakti yang dilaksanakan oleh masyarakat disekitar sekolah tersebut.
      Dengan cara yang demikian peserta didik dapat merasakan makna dari sebuah hubungan sosial secara lebih riil karena selain memperoleh pemahaman secara konseptual disekolah, juga telah melaksanakannya dalam bentuk praktek. Dan untuk melaksanakan model pembelajaran seperti ini terlebih dahulu harus terjalin hubungan yang baik antara pihak sekolah dan masyarakat di sekitar sekolah.

Landasan Psikologis Pendidikan



a.      
Konsep Dasar
Kata Psikologis berasal dari dua kata bahasa latin, yakni Psyche dan logos. Psyche berarti jiwa sedangkan logos berarti ilmu pengetahuan. Olehnya itu dahulu, psikologis diartikan sebagai ilmu yang mempelajari mengenai jiwa manusia.
      Psikologi sebagai sebuah landasan dalam pendidikan adalah bahwa dalam pelaksanaan pendidikan haruslah menerapkan unsur-unsur psikologis karena yang menjadi sasaran pendidikan tersebut adalah manusia. Oleh karena itu, dalam penyelenggaraannya, pendidikan selalu melibatkan aspek kejiwaan manusia.
      Pemahaman mengenai peserta didik, khususnya kondisi kejiwaannya memegang aspek penting dalam keberhasilan suatu pendidikan, seperti potensi-potensi individu, tahap-tahap dan tugas perkembangan sangat penting untuk difahami dan diterapkan oleh pendidik, dan untuk itu semua psikologi sebagai suatu ilmu menyediakan berbagai informasi mengenai hal tersebut.
      Pemahaman mengenai peserta didik salah satunya adalah memahami bahwa peserta didik adalah manusia yang sedang dalam proses perkembangan. Sebagai sebuah proses perkembangan manusia terdiri dari beberapa tahapan dan setiap tahapan memiliki tugas-tugas yang harus dilaksanakan agar manusia tersebut siap untuk menghadapi tahapan berikut dalam jenjang perkembangannya, tugas-tugas tersebut disebut dengan tugas perkembangan.
      Robert Havighurst (dalam Tatang Syaripuddin, 2007) membagi perkembangan manusia menjadi empat tahap, yakni (1). Masa bayi dan kanak kanak kecil, (2). Masa kanak-kanak, (3). Masa remaja, dan (4). Masa dewasa. Berikut tahapan dan tugas-tugas perkembagan manusia menurut Robert Havighurst:
1)      Masa bayi dan kanak kanak kecil (0-6 tahun), beberapa tugas perkembangannya meliputi:
a)      Belajar berjalan
b)      Belajar makan makanan padat
c)      Belajar berbicara
d)     Belajar mengontrol pembuangan kotoran tubuh
e)      Mencapai stabilitas fisiologis/ jasmaniah
2)      Masa kanak-kanak, (6-12 tahun) beberapa tugas perkembangannya meliputi:
a)      Belajar keterampilan fisik untuk permainan sehari-hari
b)      Pembentukan kesatuan sikap terhadap dirinya sebagai suatu organisme yang tumbuh
c)      Belajar bermain dengan teman mainnya
d)     Belajar memahami peranan-peranan kepriaan atau kewanitaan
e)      Pengembangan kemahiran dasar dalam membaca, menulis dan menghitung
3)      Masa remaja, (12-18 tahun) beberapa tugas perkembangannya meliputi:
a)      Mencari hubungan yang baru dan lebih matang dengan teman sebaya dari kedua jenis kelamin
b)      Mencapai peranan sosial sebagai laki-laki atau perempuan
c)      Menerima/ menghargai tubuh sendiri dan menggunakannya secara efektif
d)     Memperoleh jaminan kebebasan ekonomi
e)      Memilih dan mempersiapkan diri untuk suatu pekerjaan
4)      Masa dewasa (18 tahun - …..) beberapa tugas perkembangannya meliputi:
a)      Tugas perkembangan pada masa dewasa awal
                                                              i.      Memilih jodoh/ pasangan hidup
                                                            ii.      Memulai suatu keluarga
                                                          iii.      Mengasuh anak
                                                          iv.      Menyelenggarakan/ mengelola rumah tangga
                                                            v.      Memulai menduduki suatu jabatan/ pekerjaan
b)      Tugas perkembangan pada masa dewasa tengah umur
                                                              i.      Mencapai tanggung jawab sebagai warga negara
                                                            ii.      Membantu anak-anak belasan tahun menjadi orang dewasa
                                                          iii.      Mengembangkan penggunaan waktu luang orang dewasa
                                                          iv.      Mencapai dan mempertahankan suatu tingkat kehidupan ekonomi yang layak/ mapan
                                                            v.      Menyesuaikan diri terhadap orang yang sangat tua
c)      Tugas perkembangan pada masa dewasa usia lanjut
                                                              i.      Menyesuaikan diri pada kekuatan dan kesehatan jasmani yang makin menurun
                                                            ii.      Menyesuaikan diri pada saat pension dan pendapatan yang berkurang
                                                          iii.      Menyesuaikan diri terhadap kematian pasangan
                                                          iv.      Membentuk suatu ikatan dengan kelompok seusia
                                                            v.      Memenuhi kewajiban-kewajiban sosial dan kewarganegaraan

      Jadi, landasan psikologis pendidikan adalah asumsi-asumsi yang bersumber dari psikologi dalam memberikan pemahaman mengenai manusia yang dijadikan titik tolak dalam pelaksanaan pendidikan.
b.      Isu Implementasi
Landasan psikologis merupakan dasar-dasar pemahaman dan pengkajian sesuatu dari sudut karakteristik dan perilaku manusia, khususnya manusia sebagai individu (Nana Syaodih Sukmadinata2009;15) jadi, landasan psikologis dalam pendidikan adalah penerapan prinsip-prinsip psikologis dalam menyelenggarakan pendidikan, karena objek pendidikan adalah manusia, sama dengan objek dari psikologi sebagai sebuah ilmu pengetahuan.
      Salah satu implikasi penerapan prinsip-prinsip psikologis dalam pendidikan adalah perlakuan pendidik yang sesuai dengan perkembangan peserta didik. Yelon dan Weinstein (dalam Saripuddin) menjelaskan perlakuan pendidik yang dapat membantu peserta didik dalam menyelesaikan tugas perkembangannya sebagai berikut:
1)      Perlakuan pendidik bagi peserta didik masa kanak-kanak kecil
a)      Menyelenggarakan disiplin secara lembut
b)      Menjaga keselamatan tanpa perlindungan yang berlebihan
c)      Bercakap-cakap dan memberikan respon terhadap perkataan peserta didik
d)     Memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk bereksplorasi
2)      Perlakuan pendidik bagi peserta didik masa pra sekolah
a)      Memberikan tanggung jawab dan kebebasan kepada peserta didik secara berangsur-angsur dan terus menerus
b)      Latihan harus ditekankan pada koordinasi, kecepatan, mengarahkan dan keseimbangan
c)      Menyediakan benda-benda untuk dieksplorasi
d)     Memberikan kesempatan untuk berinteraksi sosial
3)      Perlakuan pendidik bagi peserta didik masa kanak-kanak
a)      Menerima kebutuhan-kebutuhan akan kebebasan anak dan menambah tanggung jawab anak
b)      Mendorong pertemanan dengan menggunakan proyek-proyek dan permainan kelompok
c)      Membangkitkan rasa ingin tahu
d)     Bersama-sama menciptakan aturan dan kejujuran
4)      Perlakuan pendidik bagi peserta didik masa remaja awal
a)      Memberikan kesempatan berolahraga baik secara individual maupun secara tim
b)      Menerima makin dewasanya peserta didik
c)      Memberikan tanggung jawab secara berangsur-angsur
d)     Mendorong kebebasan dan tanggung jawab
5)      Perlakuan pendidik bagi peserta didik masa remaja akhir
a)      Menghargai pandangan-pandangan peserta didik
b)      Menerima kematangan peserta didik
c)      Memberikan kesempatan yang luas untuk pendidikan karir
d)     Menggunakan kerjasama kelompok untuk memecahkan masalah
e)      Berekreasi bersama dan bersama-sama menegakkan berbagai aturan.

      Banyaknya terjadi kekerasan dalam pendidikan bisa jadi karena pemahaman guru yang kurang baik mengenai aspek psikologis peserta didik.  Contoh terbaru dari tindakan kekerasan yang terjadi pada 27 April 2011, Berita yang ditayangkan di stasiun televise  Trans Tv pada pukul 17.26 tentang anak SD yang di jewer sebanyak 390 kali jeweran hanya karena anak itu terlambat datang ke sekolah, guru anak tersebut menyuruh murid-murid yang lain untuk menghukum anak yang terlambat itu dan bila murid tersebut tidak menurut maka dia yang akan di jewer.
      Kejadian tersebut jelas menggambarkan ketidakpahaman guru mengenai bagaimana perlakuan yang baik dalam mengubah perilaku anak di usia Sekolah Dasar. Jelas guru tersebut tidak faham bahwa dalam mendidik anak-anak usia Sekolah Dasar adalah dengan mendahulukan  sikap yang lemah lembut bukan dengan selalu mengedepankan hukuman yang kemudian menghilangkan harga diri anak didepan teman-temannya.
c.       Analisis Solusi
Pemahaman yang baik mengenai aspek psikologis peserta didik adalah sebuah kewajiban yang harus dimiliki oleh setiap orang yang sedang atau yang akan bergelut di dunia pendidikan. Hal ini dapat kita lihat dari dimasukkannya mata kuliah psikologi dalam kurikulum pendidikan keguruan. Tapi kenyataannya, walaupun telah mendapatkan bekal berupa keilmuan psikologi selama masa perkuliahan, kita tidak bisa menutup mata bahwa kasus kekerasan dalam dunia pendidikan bukanlah hal lumrah di negeri ini.
      Kenyataan tersebut, dapat memberikan kita asumsi bahwa dengan diberikannya mata kuliah mengenai psikologi selama masa perkuliahan belumlah cukup dalam menghilangkan praktik-praktik kekerasan tersebut. Kita juga tidak salah kalau menduga bahwa peristiwa tersebut bisa terjadi karena memang didalam diri orang itu tidak ada jiwa untuk menjadi seorang pendidik. jadi seakan timbul kesan memaksakan bakat, orang yang secara psikologis tidak pantas menjadi guru dipaksa untuk menjadi guru.
      Hal yang dapat dilakukan untuk meminimalisir (kalau tidak bisa menggunakan kata menghilangkan) terjadinya kekerasan dalam dunia pendidikan bisa dilakukan dalam penyeleksiaan calon mahasiswa keguruan. Pemerintah dalam hal ini Depdikbud khususnya Dijen Dikti dapat membuat regulasi dalam mekanisme penerimaan mahasiswa keguruan, yakni dengan menambahkan tes psikologi dalam proses seleksinya apakah itu dalam bentuk psiko test dan interview/ wawancara. dengan demikian dimungkinkan dapat tersaringnya calon mahasiswa yang memang secara psikologis sangat cocok untuk menjadi seorang pendidik.

LandasanYuridis Pendidikan



a.      
Konsep Dasar
Kata Yuridis atau Hukum berarti aturan baku yang sudah disepakati untuk ditaati dan mengandung konsekuensi jika dilanggar, yakni mendapatkan sanksi sesuai dengan yang telah disepakati pula. Kebutuhan akan adanya hukum di suatu masyarakat adalah untuk menciptakan Manfaat, Kepastian dan Keadilan yang kemudian dikenal sebagai asas dalam ilmu hukum.
      Made Pidarta (2009;43) menjelaskan landasan hukum sebagai peraturan baku sebagai tempat berpijak atau titik tolak dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan tersebut, dalam hal ini kegiatan tersebut adalah kegiatan pendidikan. Pendidikan membutuhkan hukum sebagai landasannya, agar dalam penyelenggaraannya, pendidikan mempunyai dasar yang diakui oleh negara dan seluruh masyarakat didalam negara tersebut untuk sehingga kemudian pendidikan baik dalam proses maupun hasilnya memberikan Manfaat, Kepastian dan Keadilan sesuai dengan asas hukum itu sendiri.
b.      Isu Implementasi
Memberikan kepastian adalah salah satu asas hukum dan juga salah satu tujuan mengapa hukum dijadikan sebagai landasan dalam pendidikan, yakni untuk memastikan bahwa kebijakan apa yang telah ditetapkan mengenai pendidikan benar-benar dilaksanakan oleh penyelenggara pendidikan, dalam hal ini adalah pemerintah. permasalahan yang paling mendasar dan paling sering timbul mengenai landasan hukum justru pada pelaksanaan peraturan yang telah ditetapkan.
      Salah satunya adalah mengenai masalah pembiayaan pendidikan. Pasal 31 ayat 4 UUD 1945 (hasil amandemen, perubahan keempat) menyatakan bahwa “Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.”
      Secara jelas dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa persoalan pembiayaan pendidikan adalah tanggung jawab pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan Nasional (sekarang berubah kembali menjadi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan) juga sering mensosialisaskan pendidikan gratis diberbagai media baik media cetak maupun media elektronik, jadi seharusnya uang yang dikeluarkan orang tua untuk pendidikan anak-anak mereka hanyalah untuk membeli perlengkapan sekolah saja, namun pada kenyataannya sampai sekarang masih kita jumpai adanya uang BP3, uang komite sekolah dan sebutan lainnya yang harus ditanggung oleh peserta didik dengan alasan bahwa anggaran yang pendidikan yang diterima sekolah tidak cukup untuk membiayai kebutuhan yang ada.,sebuah ironi untuk semua iklan dari pemerintah mengenai pendidikan gratis.
c.       Analisis Solusi
Walaupun Dewan Perwakilan Rakyat telah memutuskan angka 20% sebagai anggaran pendidikan dalam APBD (dengan APBD) akan tetapi sampai saat ini penggunaan dana untuk pendidikan belumlah sampai pada angka 20% tersebut, karena angka 20% tersebut hanyalah kesepakatan politik para politikus yang berkenaan dengan isu kebijakan pendidikan nasional (Riant Nugroho, 2008).
      Untuk mentaktisi hal diatas, maka yang perlu dilakukan adalah adanya sebuah konsep manajemen keuangan terhadap anggaran pendidikan yang ada terkait prinsip keefektifan dan efesiensi anggaran yang ada. Untuk itu baik pemerintah pusat, pemerintah daerah sampai pada pihak sekolah sebagai ujung dari pengelola anggaran pendidikan harus mempunya daftar skala prioritas kebutuhan dalam melaksanakan proses pendidikan.
      Dengan cara yang demikian, maka dana anggaran yang ada dapat dimanfaatkan seoptimal mungkin sehingga akan meminimalisir munculya praktek-praktek pemungutan biaya terhadap peserta didik.

Landasan Historis Pendidikan



a.      
Konsep Dasar
Sejarah adalah keadaan masa lampau dengan segala macam kejadian atau kegiatan yang dapat didasari oleh konsep-konsep tertentu. Sejarah mencakup segala kejadian dalam alam ini, temasuk hal-hal yang dikembangkan oleh budi daya manusia (Made Pidarta, 2009;109)
      Informasi-informasi yag diperoleh dari kejadian masa lampau dapat dijadikan bahan belajar oleh generasi muda saat ini, sehingga hasil belajar dari sejarah tersebut dapat dimemanfaatkan untuk mengembangkan kemampuan diri mereka karena sejarah telah memberi penerangan, contoh, dan teladan bagi mereka dan semuanya ini diharapkan akan dapat meningkatkan peradaban manusia itu sendiri di masa kini dan masa yang akan datang. Jadi, landasan historis dalam pendidikan adalah asumsi-asumsi pendidikan yang bersumber dari konsep dan praktek pendidikan masa lampau (sejarah) yang dijadikan titik tolak perkembangan pendidikan masa kini dan masa yang akan datang (Saripuddin, 2007;4).

b.      Isu Implementasi
Permasalahan yang dialami oleh bangsa ini sekarang adalah bahwa nilai-nilai dari peristiwa-peristiwa historis yang pernah terjadi pada bangsa ini sudah mulai dilupakan, baik dalam bentuk internalisasi nilai-nilai tersebut maupun hanya dalam bentuk mengingat/ menghapalkannya. Bahkan ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai organisasi tertinggipun tidak dapat menghafalkan teks Pancasila dengan benar, tercatat dua kali ketua MPR melakukan kesalahan pengucapan terhadap teks pancasila tersebut, yakni pada saat pelantikannya sebagai ketua MPR dan pada  saat memimpin peringatan hari kesaktian pancasila. Hal tersebut jelas merupakan sebuah ironi, terlebih dilakukan oleh pemimpin dari organisasi tertinggi di Republik ini.
      Pelaksanaan pendidikan karakter adalah salah satu langkah yang telah diambil pemerintah dalam menyikapi sekaligus sebagai solusi atas kondisi bangsa yang dinilai sudah jauh dari menyimpang dari karakter pancasila sebagai nilai-nilai yang dibentuk para pendiri bangsa (founding father) dimasa lalu.
c.       Analisis Solusi
Menanamkan pendidikan karakter salah satunya dapat dilaksanakan melalui pengaktifan kembali penataran-penataran yang dapat menumbuhkan karakter pancasila didalam setiap diri bangsa seperti Penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila yang pernah dilakukan pada masa pemerintahan presiden soeharto. Namun penataran tersebut haruslah dikemas sedemikian rupa sehingga peserta setelah keluar dari penataran itu dapat mengimplementasikan pemahaman yang sudah diterimanya kedalam bentuk perilaku sehari-hari, bukan hanya sebatas pemahaman kognitif saja
      Kalau dibawa keranah pendidikan, memasukkan sejarah kedalam kurikulum pendidikan jelas merupakan sebuah langkah yang tepat dalam upaya menanamkan nilai-nilai luhur peristiwa sejarah kepada peserta didik. Akan tetapi materi yang disajikan kepada peserta didik jangan hanya sebatas mengajarkan peristiwa yang pernah terjadi, tetapi lebih kepada pemahaman akan nilai-nilai yang terkandung didalamnya.
      Hal ini salah satunya dengan menggunakan metode pembelajaran study tour/ karya wisata terhadap mata pelajaran sejarah disekolah. Dengan membawa peserta didik ketempat-tempat bersejarah bangsa ini maupun tempat bersejarah didaerah dimana sekolah itu berada. Hal ini akan efektif karena ditempat-tempat berlangsungnya peristiwa bersejarah, peserta didik akan lebih mudah memahami nilai dari makna sebuah peristiwa ditempat kejadian tersebut disbanding hanya membahasnya didalam kelas saja.

Landasan Filosofis Pendidikan



a.      
Konsep Dasar
Filosofis/ filsafat berasal dari bahasa yunani, yakni philosophia. Dalam bahasa yunani, kata Philosophia merupakan kata majemuk yang terdiri atas kata philos dan shopos. Philos berarti cinta dalam arti yang luas sedangkan shopos berarti kebijaksanaan atau hikmah. Jadi, secara sederhana kita dapat mengartikan filsafat sebagai cinta terhadap kebijaksanaan atau hikmah atau ingin mengetahui segala sesuatu secara mendalam.
      Filsafat pendidikan adalah hasil pemikiran dan perenungan secara mendalam sampai keakar-akarnya mengenai pendidikan (Made Pidarta, 2009;84). Olehnya itu landasan filosofis dalam pendidikan merupakan landasan yang berkaitan dengan makna atau hakikat pendidikan. Landasan filosofis dalam pendidikan berusaha mengkaji masalah pokok seperti apa pendidikan itu, mengapa pendidikan diperlukan manusia, apa tujuan pendidikan dan lain sebagainya.
      Landasan filosofis pendidikan berisi tentang gagasan-gagasan atau konsep-konsep yang bersifat normatif atau preskriptif, landasan filosofis dikatakan normatif atau preskriptif sebab landasan filosofis pendidikan tidak berisi konsep-konsep tentang pendidikan apa adanya (faktual) melainkan berisi tentang konsep-konsep pendidikan yang seharusnya atau yang dicita-citakan (ideal) yang disarankan oleh filsuf tertentu untuk dijadikan titik tolak dalam rangka praktek pendidikan dan/ atau studi pendidikan (Syaripuddin, 2007;45).
b.      Isu Implementasi
Pada dasarnya, landasan filosofis pendidikan adalah bagaimana menerapkan nilai-nilai kebenaran dalam penyelenggaraan pendidikan. salah satu contoh dari kebenaran universal adalah keadilan. Dalam pengertian yang sederhana, keadilan dapat diartikan sebagai perlakuan yang proporsional terhadap suatu objek.
      Sekolah-sekolah di Indonesia pada umumnya tidak memisahkan peserta didik berdasarkan tingkat kecerdasan dalam menetukan rombongan belajar, hal ini menyebabkan variasi siswa dari segi kecerdasan. Didalam sebuah kelas.keadaan ini bukanlah sebuah keadaan ideal karena baik siswa yang cerdas maupun yang tidak cerdas akan sama-sama terhambat dalam pemenuhan kebutuhannya dalam proses belajar. Siswa yang cerdas jelas akan cepat menyerap materi yang diberikan oleh guru sedangkan siswa yang tidak cerdas membutuhkan waktu lebih untuk mencerna materi yang diberikan.
      Dalam kondisi seperti inilah siswa (baik yang cerdas maupun yang tidak cerdas) mengalami ketidakadilan dalam hal pemberian perlakuan oleh guru. Ketika penyampaian materi mengikuti kemampuan siswa yang cerdas maka siswa yang tidak cerdas akan mengalami kesulitan karena disaat mereka belum memahami materi yang sedang disampaikan mereka harus berpindah lagi ke materi pembelajaran yang lain, sedangkan jika harus menunggu siswa yang tidak cerdas untuk faham terlebih dahulu, lalu kemudian beralih ke materi selanjutnya maka siswa yang cerdas akan merasakan kejenuhan dalam proses pembelajaran
c.       Analisis Solusi
Salah satu alasan mengapa pendidikan dibutuhkan oleh manusia adalah agar membantu manusia berkembang secara optimal berdasarkan potensi yang dimilikinya. Berkembang secara optimal memberikan makna semua individu memiliki potensi yang tidak sama. Jadi, menetapkan ukuran yang sama untuk semua orang yang pada kenyatanya mempunyai kebutuhan yang berbeda merupakan perlakuan yang tidak memenuhi rasa keadilan.
      Siswa yang cerdas dan siswa yang tidak cerdas memiliki potensi yang berbeda pula, jadi keduanya jelas mempunyai kebutuhan yang berbeda dalam hal mengoptimalkan perkembangan mereka berdasarkan potensi masing-masing. Jadi solusi yang dapat diambil adalah dengan melakukan pemisahan rombongan belajar antara keduanya.
      Pemisahan rombongan belajar berdasarkan tingkat kecerdasan saat ini memang sudah mulai diterapka tetapi masih diterapkan disekolah-sekolah yang memiliki embel-embel rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI)
Maupun sekolah berstandar nasional (SBN) itupun dalam jumlah yang terbatas pula, permasalahannya adalah anak-anak cerdas yang ada di negeri ini tidak semua sekolah dengan embel-embel RSBI maupun SBN akan tetapi tersebar disekolah-sekolah umum baik negeri maupun swasta serta diseluruh Indonesia.
      Olehnya itu, pemisahan rombongan belajar terhadap siswa berdasarkan kecerdasan harus dilakukan secara keseluruhan sebagai bentuk perlakuan yang mencerminkan keadilan dalam proses pendidikan.

Kamis, 03 Mei 2012

Permendiknas no 27 tahun 2008 (SKKAK)


SALINAN
PERATURAN
MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 27 TAHUN 2008
TENTANG
STANDAR KUALIFIKASI AKADEMIK DAN KOMPETENSI KONSELOR
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL

Menimbang : 
bahwa dalam rangka pelaksanaan ketentuan Pasal 28 ayat (5) Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, perlu menetapkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Konselor;

Mengingat : 
  1. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4301);
  2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4496);
  3. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Kementerian Negara Republik Indonesia sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 94 Tahun 2006;
  4. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 187/M Tahun 2004 mengenai Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 77/P Tahun 2007;

MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA TENTANG STANDAR KUALIFIKASI AKADEMIK DAN KOMPETENSI KONSELOR.
.
Pasal 1
(1) Untuk dapat diangkat sebagai konselor, seseorang wajib memenuhi standar kualifikasi akademik dan kompetensi konselor yang berlaku secara nasional.
(2) Standar kualifikasi akademik dan kompetensi konselor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran Peraturan Menteri ini.
Pasal 2
Penyelenggara pendidikan yang satuan pendidikannya mempekerjakan konselor wajib menerapkan standar kualifikasi akademik dan kompetensi konselor sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri paling lambat 5 tahun setelah Peraturan Menteri ini mulai berlaku.
Pasal 3
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 11 Juni 2008
MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL,
TTD.
BAMBANG SUDIBYO


SALINAN
LAMPIRAN PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL
NOMOR 27 TAHUN 2008 TANGGAL 11 JUNI 2008
STANDAR KUALIFIKASI AKADEMIK
DAN KOMPETENSI KONSELOR

A. Pendahuluan
Keberadaan konselor dalam sistem pendidikan nasional dinyatakan sebagai salah satu kualifikasi pendidik, sejajar dengan kualifikasi guru, dosen, pamong belajar, tutor, widyaiswara, fasilitator, dan instruktur (UU No. 20 Tahun 2003 Pasal 1 Ayat 6). Masing-masing kualifikasi pendidik, termasuk konselor, memiliki keunikan konteks tugas dan ekspektasi kinerja. Standar kualifikasi akademik dan kompetensi konselor dikembangkan dan dirumuskan atas dasar kerangka pikir yang menegaskan konteks tugas dan ekspektasi kinerja konselor.
Konteks tugas konselor berada dalam kawasan pelayanan yang bertujuan mengembangkan potensi dan memandirikan konseli dalam pengambilan keputusan dan pilihan untuk mewujudkan kehidupan yang produktif, sejahtera, dan peduli kemaslahatan umum. Pelayanan dimaksud adalah pelayanan bimbingan dan konseling. Konselor adalah pengampu pelayanan ahli bimbingan dan konseling, terutama dalam jalur pendidikan formal dan nonformal.
Ekspektasi kinerja konselor dalam menyelenggarakan pelayanan ahli bimbingan dan konseling senantiasa digerakkan oleh motif altruistik, sikap empatik, menghormati keragaman, serta mengutamakan kepentingan konseli, dengan selalu mencermati dampak jangka panjang dari pelayanan yang diberikan.
Sosok utuh kompetensi konselor mencakup kompetensi akademik dan profesional sebagai satu keutuhan. Kompetensi akademik merupakan landasan ilmiah dari kiat pelaksanaan pelayanan profesional bimbingan dan konseling. Kompetensi akademik merupakan landasan bagi pengembangan kompetensi profesional, yang meliputi: (1) memahami secara mendalam konseli yang dilayani, (2) menguasai landasan dan kerangka teoretik bimbingan dan konseling, (3) menyelenggarakan pelayanan bimbingan dan konseling yang memandirikan, dan (4) mengembangkan pribadi dan profesionalitas konselor secara berkelanjutan.

Unjuk kerja konselor sangat dipengaruhi oleh kualitas penguasaan ke empat komptensi tersebut yang dilandasi oleh sikap, nilai, dan kecenderungan pribadi yang mendukung. Kompetensi akademik dan profesional konselor secara terintegrasi membangun keutuhan kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional.
Pembentukan kompetensi akademik konselor ini merupakan proses pendidikan formal jenjang strata satu (S-1) bidang Bimbingan dan Konseling, yang bermuara pada penganugerahan ijazah akademik Sarjana Pendidikan (S.Pd) bidang Bimbingan dan Konseling. Sedangkan kompetensi profesional merupakan penguasaan kiat penyelenggaraan bimbingan dan konseling yang memandirikan, yang ditumbuhkan serta diasah melalui latihan menerapkan kompetensi akademik yang telah diperoleh dalam konteks otentik Pendidikan Profesi Konselor yang berorientasi pada pengalaman dan kemampuan praktik lapangan, dan tamatannya memperoleh sertifikat profesi bimbingan dan konseling dengan gelar profesi Konselor, disingkat Kons.

B. Kualifikasi Akademik Konselor
Konselor adalah tenaga pendidik profesional yang telah menyelesaikan pendidikan akademik strata satu (S-1) program studi Bimbingan dan Konseling dan program Pendidikan Profesi Konselor dari perguruan tinggi penyelenggara program pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi. Sedangkan bagi individu yang menerima pelayanan profesi bimbingan dan konseling disebut konseli, dan pelayanan bimbingan dan konseling pada jalur pendidikan formal dan nonformal diselenggarakan oleh konselor.
Kualifikasi akademik konselor dalam satuan pendidikan pada jalur pendidikan formal dan nonformal adalah:
1. Sarjana pendidikan (S-1) dalam bidang Bimbingan dan Konseling.
2. Berpendidikan profesi konselor.

C. Kompetensi Konselor
Rumusan Standar Kompetensi Konselor telah dikembangkan dan dirumuskan atas dasar kerangka pikir yang menegaskan konteks tugas dan ekspektasi kinerja konselor. Namun bila ditata ke dalam empat kompetensi pendidik sebagaimana tertuang dalam PP 19/2005, maka rumusan kompetensi akademik dan profesional konselor dapat dipetakan dan dirumuskan ke dalam kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional sebagai berikut.

KOMPETENSI INTI
KOMPETENSI
A. KOMPETENSI PEDAGOGIK
1. Menguasai teori dan praksis pendidikan
1.1 Menguasai ilmu pendidikan dan landasan keilmuannya
1.2 Mengimplementasikan prinsip-prinsip pendidikan dan proses pembelajaran
1.3 Menguasai landasan budaya dalam praksis pendidikan

2. Mengaplikasikan perkembangan fisiologis dan psikologis serta perilaku konseli
2.1 Mengaplikasikan kaidah-kaidah perilaku manusia, perkembangan fisik dan psikologis individu terhadap sasaran pelayanan bimbingan dan konseling dalam upaya pendidikan
2.2 Mengaplikasikan kaidah-kaidah kepribadian, individualitas dan perbedaan konseli terhadap sasaran pelayanan bimbingan dan konseling dalam upaya pendidikan
2.3 Mengaplikasikan kaidah-kaidah belajar terhadap sasaran pelayanan bimbingan dan konseling dalam upaya pendidikan
2.4 Mengaplikasikan kaidah-kaidah keberbakatan terhadap sasaran pelayanan bimbingan dan konseling dalam upaya pendidikan
2.5. Mengaplikasikan kaidah-kaidah kesehatan mental terhadap sasaran pelayanan bimbingan dan konseling dalam upaya pendidikan

3. Menguasai esensi pelayanan bimbingan dan konseling dalam jalur, jenis, dan jenjang satuan pendidikan
3.1 Menguasai esensi bimbingan dan konseling pada satuan jalur pendidikan formal, nonformal dan informal
5
3.2 Menguasai esensi bimbingan dan konseling pada satuan jenis pendidikan umum, kejuruan, keagamaan, dan khusus
3.3 Menguasai esensi bimbingan dan konseling pada satuan jenjang pendidikan usia dini, dasar dan menengah, serta tinggi.

B. KOMPETENSI KEPRIBADIAN

4. Beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
4.1 Menampilkan kepribadian yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
4.2 Konsisten dalam menjalankan kehidupan beragama dan toleran terhadap pemeluk agama lain
4.3 Berakhlak mulia dan berbudi pekerti luhur

5. Menghargai dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, individualitas dan kebebasan memilih
5.1 Mengaplikasikan pandangan positif dan dinamis tentang manusia sebagai makhluk spiritual, bermoral, sosial, individual, dan berpotensi
5.2 Menghargai dan mengembangkan potensi positif individu pada umumnya dan konseli pada khususnya
5.3 Peduli terhadap kemaslahatan manusia pada umumnya dan konseli pada khususnya
5.4 Menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia sesuai dengan hak asasinya.
5.5 Toleran terhadap permasalahan konseli
5.6 Bersikap demokratis.

6. Menunjukkan integritasdan stabilitas kepribadian yang kuat
6.1 Menampilkan kepribadian dan perilaku yang terpuji (seperti berwibawa, jujur, sabar, ramah, dan konsisten )
6.2 Menampilkan emosi yang stabil.
6.3 Peka, bersikap empati, serta menghormati keragaman dan perubahan
6.4 Menampilkan toleransi tinggi terhadap konseli yang menghadapi stres dan frustasi

7. Menampilkan kinerja berkualitas tinggi
7.1 Menampilkan tindakan yang cerdas, kreatif, inovatif, dan produktif
7.2 Bersemangat, berdisiplin, dan mandiri
7.3 Berpenampilan menarik dan menyenangkan
7.4 Berkomunikasi secara efektif

C. KOMPETENSI SOSIAL
8. Mengimplementasikan kolaborasi intern di tempat bekerja
8.1 Memahami dasar, tujuan, organisasi, dan peran pihak-pihak lain (guru, wali kelas, pimpinan sekolah/madrasah, komite sekolah/madrasah) di tempat bekerja
8.2 Mengkomunikasikan dasar, tujuan, dan kegiatan pelayanan bimbingan dan konseling kepada pihak-pihak lain di tempat bekerja
8.3 Bekerja sama dengan pihak-pihak terkait di dalam tempat bekerja (seperti guru, orang tua, tenaga administrasi)

9. Berperan dalam organisasi dan kegiatan profesi bimbingan dan konseling
9.1 Memahami dasar, tujuan, dan AD/ART organisasi profesi bimbingan dan konseling untuk pengembangan diri dan profesi
9.2 Menaati Kode Etik profesi bimbingan dan konseling
9.3 Aktif dalam organisasi profesi bimbingan dan konseling untuk pengembangan diri dan profesi

10. Mengimplementasikan kolaborasi antarprofesi
10.1 Mengkomunikasikan aspek-aspek profesional bimbingan dan konseling kepada organisasi profesi lain
10.2 Memahami peran organisasi profesi lain dan memanfaatkannya untuk suksesnya pelayanan bimbingan dan konseling
10.3 Bekerja dalam tim bersama tenaga paraprofesional dan profesional profesi lain.
10.4 Melaksanakan referal kepada ahli profesi lain sesuai dengan keperluan

D. KOMPETENSI PROFESIONAL
11. Menguasai konsep dan praksis asesmen untuk memahami kondisi, kebutuhan, dan masalah konseli
11.1 Menguasai hakikat asesmen
11.2 Memilih teknik asesmen, sesuai dengan kebutuhan pelayanan bimbingan dan konseling
11.3 Menyusun dan mengembangkan instrumen asesmen untuk keperluan bimbingan dan konseling
11.4 Mengadministrasikan asesmen untuk mengungkapkan masalah-masalah konseli.
11.5 Memilih dan mengadministrasikan teknik asesmen pengungkapan kemampuan dasar dan kecenderungan pribadi konseli.
11.6 Memilih dan mengadministrasikan instrumen untuk mengungkapkan kondisi aktual konseli berkaitan dengan lingkungan
11.7 Mengakses data dokumentasi tentang konseli dalam pelayanan bimbingan dan konseling
11.8 Menggunakan hasil asesmen dalam pelayanan bimbingan dan konseling dengan tepat
11.9 Menampilkan tanggung jawab profesional dalam praktik asesmen

12. Menguasai kerangka teoretik dan praksis bimbingan dan konseling
12.1 Mengaplikasikan hakikat pelayanan bimbingan dan konseling.
12.2 Mengaplikasikan arah profesi bimbingan dan konseling.
12.3 Mengaplikasikan dasar-dasar pelayanan bimbingan dan konseling.
12.4 Mengaplikasikan pelayanan bimbingan dan konseling sesuai kondisi dan tuntutan wilayah kerja.
12.5 Mengaplikasikan pendekatan /model/jenis pelayanan dan kegiatan pendukung bimbingan dan konseling.
12.6 Mengaplikasikan dalam praktik format pelayanan bimbingan dan konseling.

13. Merancang program Bimbingan dan Konseling
13.1 Menganalisis kebutuhan konseli
13.2 Menyusun program bimbingan dan konseling yang berkelanjutan berdasar kebutuhan peserta didik secara komprehensif dengan pendekatan perkembangan
13.3 Menyusun rencana pelaksanaan program bimbingan dan konseling
13.4 Merencanakan sarana dan biaya penyelenggaraan program bimbingan dan konseling

14. Mengimplementasikan program Bimbingan dan Konseling yang komprehensif
14.1 Melaksanakan program bimbingan dan
konseling.
14.2 Melaksanakan pendekatan kolaboratif dalam pelayanan bimbingan dan konseling.
14.3 Memfasilitasi perkembangan akademik, karier, personal, dan sosial konseli
14.4 Mengelola sarana dan biaya program bimbingan dan konseling

15. Menilai proses dan hasil kegiatan Bimbingan dan Konseling.
15.1 Melakukan evaluasi hasil, proses, dan program bimbingan dan konseling
15.2 Melakukan penyesuaian proses pelayanan bimbingan dan konseling.
15.3 Menginformasikan hasil pelaksanaan evaluasi pelayanan bimbingan dan konseling kepada pihak terkait
15.4 Menggunakan hasil pelaksanaan evaluasi untuk merevisi dan mengembangkan program bimbingan dan konseling

16. Memiliki kesadaran dan komitmen terhadap etika profesional
16.1 Memahami dan mengelola kekuatan dan keterbatasan pribadi dan profesional.
16.2 Menyelenggarakan pelayanan sesuai dengan kewenangan dan kode etik profesional konselor
16.3 Mempertahankan objektivitas dan menjaga agar tidak larut dengan masalah konseli.
16.4 Melaksanakan referal sesuai dengan keperluan
16.5 Peduli terhadap identitas profesional dan pengembangan profesi
16.6 Mendahulukan kepentingan konseli daripada kepentingan pribadi konselor
16.7 Menjaga kerahasiaan konseli

17. Menguasai konsep dan praksis penelitian dalam bimbingan dan konseling
17.1 Memahami berbagai jenis dan metode penelitian
17.2 Mampu merancang penelitian bimbingan dan konseling
17.3 Melaksaanakan penelitian bimbingan dan konseling
17.4 Memanfaatkan hasil penelitian dalam bimbingan dan konseling dengan mengakses jurnal pendidikan dan bimbingan dan konseling

MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL,

TTD

BAMBANG SUDIBYO